Ketua DPR RI, Puan Maharani mendorong pemerintah bisa mewujudkan peningkatan rasio kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) perbankan menjadi di atas 30 % dari total kredit.
Sejauh ini rasio kredit perbankan untuk UMKM Indonesia berada di level 18-20 persen. Angka ini jauh di bawah rasio pembiayaan bank terhadap UMKM di negara seperti Singapura (39%), Malaysia (50%), Thailand (51%), Jepang (66%), hingga Korea Selatan (82%). Peningkatan Rasio Kredit UMKM Bisa Selamatkan Ekonomi Bangsa.
Untuk mendorong perbankan nasional non BUMN mengucurkan bantuan pinjaman KUR, maka yang harus dilakukan adalah :
1. Pemerintah harus berani melonggarkan kebijakan Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan. Untuk memberikan kesempatan Perbankan Nasional memberikan bantuan kredit Usaha Rakyat. Ketentuan Capital Adequacy Ratio (CAR) yang terlalu ketat dan kemampuan yang terbatas akan membuat perbankan sulit menyalurkan kredit.
2. Bagi perbankan Nasional yang kesulitan modal, pemerintah sebaiknya membeli saham bank tersebut secara sementara yang kemudian dapat dibeli kembali dikemudian hari atau disebut buyback.
3. Pemerintah menyiapkan jaminan asuransi kepada Kredit Usaha Rakyat sebesar 1% dari total pinjaman yang diterima oleh masyarakat.
Jaminan ini bisa melalui Jamkrindo atau Askrindo dan juga penjamin swasta lainnya.
4. Penyaluran KUR harus dilakukan berdasarkan zonasi demografi untuk mendapatkan hasil pemerataan pertumbuhan ekonomi.
5. Penempatan Deposito dana pemerintah APBN, APBD (Provinsi, Kota, Kabupaten) yang belum terpakai ke Bank Swasta Nasional yang sudah menggulirkan rasio KUR.
Langkah diatas dirasa dapat lebih efektif dibandingkan langkah pemerintah saat ini yang melakukan stimulasi pemulihan ekonomi sebesar Rp 150 triliyun.
Pemulihan ekonomi seharusnya dapat didasarkan pada penguatan ekonomi kerakyatan.
Menurut data dari Dirjen Disdukcapil Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia, terdapat 1.080.165 Rukun Tetangga (RT) yang tersebar di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten Kota.
Apabila disimulasikan KUR masyarakat dengan bunga rendah secara bergurlir oleh perbankan, yang digulirkan pada setiap RT diseluruh Indonesia, dan sebanyak 10 kepala keluarga di setiap RT per tahun.
Maka dapat diasumsikan akan muncul 10 juta (10.801.650) kepala keluarga penerima bantuan Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Apabila setiap kepala Keluarga mendapat bantuan KUR sebesar 10 juta Rupiah, maka total bantuan KUR yang disalurkan akan berjumlah sekitar Rp 108 triliyun (Rp 108.516.500.000.000,-).
Jika diasumsikan pemerintah mampu mendorong Rp 500 triliyun anggaran perbankan untuk program KUR ini, dan pemerintah menyiapkan jaminan asuransi KUR sebesar 1% dari jumlah KUR yakni Rp 50 triliyun.
Maka masyarakat yang terselamatkan perekonomiannya dari program KUR ini sebesar 50 juta kepala keluarga di seluruh Indonesia.
Sebaiknya pemerintah saat ini melakukan refocusing kepada program kerakyatan semacam ini.
Sehingga basis ekonomi akan menguat, daya beli masyarakat akan meningkat, dan pada gilirannya akan menguatkan ekonomi ditingkat nasional.
Seperti yang diuangkapkan Bung Karno dalam Trisakti-nya, Berdaulat dibidang Politik, Berdikari dibidang ekonomi, dan berkepribadian dalam Kebudayaan.
Dalam fokusnya mengkordinir bank-bank Nasional BUMN untuk menelurkan program-program KUR ini, Menteri BUMN harus menjadi lokomotif utama untuk dapat menguatkan struktur perekonomian nasional.
Sehingga fokus-fokus lain selain pemulihan perekonomian nasional harus dapat dipinggirkan terlebih dahulu.
Menteri BUMN yang berlatar belakang pengusaha juga harus menjadi contoh bagi para pengusaha untuk membangkitkan perekonomian nasional yang sedang butuh likuiditas nasional.
Belakangan santer terdengar Menteri BUMN malah punya niat mengkordinir konglomerat nasional untuk bersama sama mengakuisisi klub sepak bola luar negeri asal Inggris.
Presiden harus segera merapikan seluruh jajarannya untuk dapat merumuskan jalan keluar yang paling tepat dari krisis ini.
Presiden Jokowi dapat juga mencontoh format penangan krisis yang dilakukan Ibu Hj. Megawati Soekarno Putri yang berpengalaman menangani krisis ekonomi tahun 2001-2004 pasca krisis 1998.
Kalau keliru menangani krisis ekonomi ini, bisa saja kabinet Jokowi mengalami krisis ekonomi seperti yang dialami kabinet Soeharto di tahun 1998.
H. Mochtar Mohamad Merupakan Mantan Legislatif & Eksekutif Periode 1999-2012