Jakarta – Pemenuhan hak kesehatan anak Indonesia dinilai belum maksimal bahkan masih menghadapi banyak tantangan. Apalagi dengan adanya pandemi saat ini. Berdasarkan suatu studi literatur dan konsensus ahli yang dilakukan oleh Health Collaborative Center (HCC), disimpulkan terdapat 5 hak kesehatan anak Indonesia yang hingga kini belum juga terpenuhi oleh negara.
Lima hak kesehatan anak Indonesia yang belum terpenuhi oleh negara, antara lain hak untuk terbebas dari masalah gizi buruk/gizi kurang, gizi lebih; hak untuk mendapatkan akses terhadap layanan kesehatan secara umum dan layanan kesehatan mental pada anak belum terpenuhi secara optimal; hak pengasuhan dari orang tua dan komunitas yang belum terlindungi; hak terhadap akses Pendidikan, terutama pendidikan kesehatan di lembaga pendidikan (sekolah) yang belum fokus; dan terakhir, hak untuk dilahirkan dengan selamat dan hidup dengan kualitas hidup sehat yang baik (mengingat angka kematian pada neonatal, bayi, balita masih sangat tinggi).
Founder dan Chairman Health Collaborative Center (HCC) Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, yang menjadi Peneliti Utama dari studi konsensus menyatakan, kelima hak kesehatan anak yang belum terpenuhi diperoleh dari suatu penelitian dalam bentuk rangkaian kajian berbasis konsensus ahli dan studi literatur. Melibatkan 36 akademisi, pemerhati/praktisi, pemangku kepentingan, dan pelaku program perlindungan hak anak dan kesehatan anak Indonesia dari 13 provinsi di Indonesia.
Baca juga: Oppo Find Health Memotivasi Masyarakat Hidup Aktif Sekaligus Peduli Tenaga Kesehatan
Menurut Dr. Ray, studi ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan besar terkait apakah setelah 75 tahun merdeka, hak anak Indonesia sudah terlindungi dan dipenuhi oleh negara atau belum.
”Dari analisis konsesus ahli secara daring serta kajian literature dengan deskripsi makro, lima hak anak Indonesia yang belum terpenuhi ini adalah hak mendasar yang sebenarnya merupakan masalah klasik yang sudah dialami bangsa ini sejak puluhan tahun silam. Artinya ada poin-poin prinsip yang menurut konsensus ahli belum sesuai dengan komitmen bangsa Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak,” ujarnya.
Namun demikian, Dr Ray yang meraih Doktor di bidang Ilmu Kedokteran dari FKUI ini menambahkan, konsensus ahli yang dicapai dari penelitian ini juga menghadirkan rekomendasi dan usulan logis yang diharapkan dapat membantu negara memaksimalkan upaya pemenuhan kesehatan anak Indonesia.
Dr. Ray menjelaskan hasil konsensus ahli merekomendasi 7 intervensi yaitu Percepatan dan pengembangan integrasi program kesehatan anak dengan berbagai lintas sektor. Mempererat komitmen pemangku kepentingan dalam penyelesaian persoalan kesehatan pada anak. Pengembangan intervensi edukasi untuk masyarakat dan sasaran utama program kesehatan anak.
Mempercepat pembangunan infrastruktur untuk ketersediaan dan akses layanan kesehatan anak. Mendorong inisiasi, pembuatan dan implementasi kebijakan berbasis bukti untuk mengatasi persoalan kesehatan anak. Memperkuat desentralisasi program kesehatan anak sesuai dengan kebutuhan lokal, dan terakhir penyediaan/pengembangan fasilitas kesehatan ramah dan inklusif terhadap anak dengan disabilitas. ‘
‘Tujuh rekomendasi ini sangat dinamis namun esensial mengingat beberapa poin yang datang dari rekomendasi ahli adalah aspek yang selama ini belum jadi fokus prioritas, seperti kesehatan mental dan hak inklusivitas anak dengan disabilitas. Aspek penangan risiko anak Indonesia selama pandemi juga menjadi salah satu poin rekomendasi dalam pengembangan integrasi program kesehatan anak,” ungkapnya.
Baca juga: Yuk Ngemil Cantik GarudaFood Lagi Diskon lho di Shopee
Menanggapi kondisi pandemi Covid-19, Ahli dan praktisi berpendapat bahwa hal tersebut dapat memperberat persoalan kesehatan anak. Secara spesifik, terdapat 3 dampak utama yakni kesehatan, psikologis dan tumbuh kembang anak. ”Para ahli dan praktisi juga menyatakan bahwa dapat dimungkinkan terjadi “Missing Generation” untuk anak-anak yang lahir dan berkembang di masa pandemi,” imbuhnya.
Ketua Forum Anak Nasional 2019 – 2021, Tristania Faisa Adam serta salah seorang pakar yang terlibat dalam penelitian konsensus ahli Hak Kesehatan Anak mengungkapkan, populasi anak menjadi salah satu komponen masyarakat yang perlu mendapat perhatian ekstra dan prioritas karena anak adalah kelompok rentan yang sangat bergantung dari kebijakan dan perlindungan negara.
”Jadi jangan hanya melihat hasil penelitian ini sebagai rekomendasi diatas kertas saja, tapi keterlibatan 36 pakar dari 13 provinsi ini memiliki validitas kuat untuk didengarkan seluruh pihak terutama pemerintah,” katanya.
Tercatat terdapat 36 Ahli dan Praktisi Kesehatan Anak yang terlibat dalam penelitian ini dan berasal dari 13 Provinsi di Indonesia, di antaranya adalah Aceh, Sumatra Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Tengah, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Barat.
Berdasarkan ragam profesi, Ahli dan Praktisi tersebut terdiri dari dokter spesialis anak, dokter umum, ahli gizi klinis, perawat, farmasis, psikolog klinis, konselor, promotor kesehatan, dosen, peneliti, konsultan, guru serta aktivis pergerakan dari organisasi masyarakat sipil kesehatan anak, gender dan berbasis keagamaan.
Health Collaborative Center (HCC) meyakini bahwa Konsensus Ahli dan Praktisi Kesehatan Anak dalam meninjau pemenuhan hak kesehatan anak dapat menjadi diskursus bersama lintas sektor untuk saling berkolaborasi dan mengoptimalkan kembali daya dan upaya untuk memenuhi hak-hak kesehatan anak. Tidak hanya itu, paket rekomendasi intervensi dari konsensus ini juga dapat menjadi acuan advokasi bagi berbagai pemangku kepentingan untuk memperkuat kolaborasi. (any)