JAKARTA – Sejumlah pelaku usaha farmasi mengapresiasi kebijakan pemerintah terkait dengan kemudahan regulasi dalam rangka ketersediaan obat nasional guna mengantisipasi melonjaknya wabah penyakit.
Untuk itu diperlukan keberanian pemerintah dalam memberikan izin kepada masyarakat yang ingin membuat sarana atau aktivitas di bidang kefarmasian agar lebih tertarik dan tertata. Tidak kalah penting agar lebih mudah diawasi.
Baca juga: Ini Pentingnya Jaga Kesehatan Tulang, Agar Kualitas Hidup Terjaga Hingga Tua
“Karena dengan sulitnya proses perizinan akan banyak terjadinya penyimpangan. Tentunya akan sulit untuk diatasi oleh pemerintah itu sendiri,” ujar pengamat kefarmasian yang juga pelaku usaha farmasi Indonesia, Edy Haryanto kepada wartawan di Jakarta, Selasa (13/9/2022).
Menurut Edy, jika mengamati dari beberapa kasus, maraknya obat impor yang tak berizin beredar luas dan diperjual belikan secara bebas, hal itu lantaran karena sulitnya masyarakat dalam rangka mengurus izin. Sehingga banyak oknum pedagang yang sembunyi-sembunyi menjual kepada masyarakat.
“Oleh karena itu kami berharap kepada pemerintah memberikan kelonggaran perizinan. Sebab lebih baik membina daripada membiarkan. Dengan kemudahan perizinan artinya memberikan pengawasan secara langsung oleh pemerintah bisa dilakukan,” ujar Edy.
Pihaknya juga mengakui bahwa saat ini masih banyak ditemukan obat yang seharusnya dijual dengan resep dokter tapi dengan mudah dibeli di pasaran tanpa menggunakan resep.
“Ini sebetulnya sebuah fenomena yang menarik. Karena apa, masyarakat sudah sadar arti pentingnya kesehatan. Bahkan kita bisa dapat menyimpulkan bahwa kesehatan sudah menjadi gaya hidup. nah disitulah pemerintah harus hadir dalam memberikan edukasi,” imbau Edy.
Pihaknya juga mengimbau, baik kepada penyedia sarana atau produsen bahkan masyarakat agar lebih bijak dalam berbelanja. “Pilih tempat atau sarana belanja obat-obatan yang benar, sehingga bisa menjamin keaslian obat,” tandasnya.
Baca juga: Moms, Ini Dia Cara Kurangi Risiko Ruam Popok Saat Pengenalan MPASI
Sementara itu, pengurus Gabungan Pengusaha Alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Ary Gunawan menegaskan, pada intinya yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah bagaimana membangun ekosistem. Sehingga nantinya masyarakat berbondong-bondong untuk melakukan produksi industri farmasi di dalam negeri.
“Di antaranya memberikan kemudahan dalam proses perizinan. Selanjutnya juga pemerintah dapat memberikan kemudahan dalam pemasaran sehingga masyarakat akan mudah untuk membeli produk farmasi dalam negeri. Karena pasar yang besar saat ini masih bergantung pada pemerintah,” ungkap Ary.
Untuk itu, kata Ery, ekosistem harus segera dibangun dalam rangka mempermudah regulasi di dalam registrasi alat kesehatan. Pihaknya juga mengapresiasi Kementerian Kesehatan yang merespon cepat terkait dengan persoalan tersebut.
“Ini sudah mendapat suport dari pemerintah. Namun harga juga harus konsider supaya para pelaku usaha farmasi bisa untung di ruang bisnis. Harga jangan terlalu ditekan, sebab jika harga terlalu ditekan akan menghambat perkembangan industri farmasi dalam negeri,” ucapnya.
Ari mengatakan, anggota Gakeslab rata-rata adalah pedagang. Saat pembelian alat kesehatan di Cina, India atau di Korea tentunya dicari discount yang paling besar. Kemudian dijual sesuai barang yang laku saja. Hal itu bagi dia sangat berbahaya bagi ketahanan kesehatan.
“Nah dengan adanya pandemi ini mereka (pengusaha farmasi) switching yang semula pedagang menjadi industrial. Ini terjadi karena pemerintah saat ini sangat support dalam memberikan kemudahan izin edar. Terlebih dengan adanya OSS, tentunya sangat mempercepat dalam proses perizinan itu sendiri,” terangnya.
Sebelumnya, sejumlah industri farmasi berharap agar pemerintah menyiapkan kebijakan pendukung untuk meningkatkan produksi dalam negeri. Sebab bahan baku industri farmasi domestik saat ini masih ditopang pasokan impor hingga 90%.
Selain itu, Indonesia masih menjadi importir bahan farmasi aktif (API) sebagai bahan baku. Oleh karenanya perlu adanya industri API di dalam negeri.
Berdasarkan catatan Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI), industri farmasi tumbuh positif sekitar 7,06% dalam empat tahun terakhir. Namun pada 2017, pertumbuhan industri farmasi sempat terkoreksi menjadi 3,48%. Pada kuartal I 2020, pertumbuhan industri farmasi dilaporkan minus 1,2%. Sepanjang 2019, industri farmasi berhasil mencatatkan penjualan sekitar Rp 80 triliun.
Pemerintah seharusnya dapat mencontoh negara lain dalam rangka penyediaan bahan baku untuk industri farmasi. Penurunan utilisasi produksi akibat anjloknya permintaan hingga 60% menjadi sorotan bagi pengusaha industri farmasi.
Akibatnya, kapasitas produksi menjadi tidak optimal. Padahal dalam kondisi normal, industri farmasi swasta dan BUMN memiliki kapasitas produksi hingga 50%. Adapun kemampuan untuk pemenuhan pasar domestik mencapai 90%. Dampak lainnya, industri telah merumahkan atau PHK karyawan sekitar 2.000-3.000 orang. (put)