Jakarta – Pabrikan otomotif dunia kini tengah berlomba-lomba untuk membuat mobil atau motor listrik untuk mengurangi emisi. Namun ternyata, bila dibandingkan dengan otomotif, gas buang dari peternakan jauh lebih tinggi.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mencatat, sapi ternak memiliki emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 5.024 gigaton CO2 ekuivalen (CO2e). Emisi ini mencakup sekitar 62 persen dari total gas rumah kaca yang dihasilkan sektor peternakan di dunia.
Babi menjadi binatang ternak kedua dengan emisi terbesar, yaitu 819 gigaton CO2e. Ayam pedaging berada di peringkat ketiga dengan emisi sebesar 790 gigaton CO2e.
Baca juga: Honda HRV Terbaru Segera Mengaspal di Indonesia
Kerbau tercatat memiliki emisi sebesar 766 gigaton CO2e dan hewan ruminansia kecil (kambing, domba, dan lain-lain) menghasilkan 596 gigaton CO2e. Terakhir, unggas selain ayam menghasilkan 82 ton CO2e.
Dalam sebuah studi LIPI, emisi GRK dari peternakan di Indonesia tercatat sebesar 35.076 gigagram CO2e (ggCO2e) pada 2014. Emisi ini hanya mencakup tidak lebih dari 2 persen total emisi GRK di Indonesia.
Sapi potong menghasilkan emisi terbesar dengan 19.729 ggCO2e. Unggas berada di peringkat kedua dengan emisi sebesar 5.079 ggCO2e.
Baca juga: Gandeng Circle K Swap Hadirkan Titik Penukaran Baterai Motor Listrik
Nah, pandemi COVID-19 dan Pembangunan Rendah Karbon adalah 2 momentum penting untuk mewujudkan tujuan pembangunan yang responsif terhadap hak anak. Aloysius Suratin, Sponsorship & Program Director ChildFund International di Indonesia mengatakan, solusi inovatif perlu segera diimplementasikan agar tujuan pembangunan rendah karbon tersebut menjadi peluang dan bukan ketertinggalan bagi kaum muda.
Aloy menyatakan, saat ini ChildFund bersama 3 lembaga mitra sedang mengembangkan dan melaksanakan sebuah program bernama Green Recovery Initiative (GRI). GRI bertujuan untuk mempercepat reduksi emisi pada sub-sektor peternakan dan sekaligus menciptakan lapangan kerja dan pendapatan bagi kaum muda. Program ini baru digulirkan di Kabupaten Lampung Selatan, Pringsewu, dan Boyolali. Inisiatif ini diluncurkan melalui kolaborasi dengan pemerintah kabupaten dan lembaga mitra di ketiga wilayah tersebut.
“Kita ingin mempromosikan sebuah pendekatan berbasis kawasan untuk menurunkan emisi dari budidaya ternak ruminansia sekaligus meningkatkan peluang kewirausahaan kaum muda di sektor ini,” ujarnya dalam talk show & webinar berjudul “Identifikasi Potensi Kolaborasi dalam Adaptasi & Mitigasi Sektoral di Indonesia” di Jakarta, Rabu (23/11/2022).
Ada 3 komponen utama program ini, yaitu pengembangan inkubasi bisnis hijau, memperkuat akses keuangan yang inklusif bagi wirausahawan muda, dan reduksi emisi pada rantai pasok peternakan dan produk turunannya. Pendekatan yang bersifat holistik dalam GRI ini mensyaratkan kolaborasi dengan berbagai pihak. “Pemerintah dan masyarakat termasuk sekolah telah mulai memberikan dukungan pada inisiatif ini. Kita saat ini sedang mengajak pihak perusahaan dan kelompok bisnis untuk ikut serta,” jelasnya.
Pelibatan pihak perusahaan dan bisnis pada program ini memang strategis bagi berbagai pihak. Bagi pemerintah, kolaborasi antar pihak ini akan mempercepat tercapainya target reduksi emisi dari sektor pertanian dan peternakan. Bagi perusahaan, kolaborasi ini dapat menjadi pilihan untuk memperkuat rekam jejak perusahaan untuk menurunkan emisi dari kegiatan operasionalnya.
Berbagai pendekatan inovatif telah dan akan terus diintegrasikan pada program GRI. Saat ini upaya terobosan terus diupayakan untuk mereduksi emisi enterik dan emisi dari limbah kandang. Optimasi proses juga dilakukan untuk memperoleh gas metana yang dimanfaatkan untuk menurunkan konsumsi bahan bakar fosil. Produksi pupuk organik dengan kualitas hara yang terjamin juga menjadi peluang bisnis bagi kaum muda dan berpotensi mengefisienkan pengeluaran negara untuk pengadaan dan subsisi pupuk anorganik. (any)