JAKARTA – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar diminta untuk segera menyelesaikan sengketa kepengurusan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar Kota Bekasi yang saat ini perkaranya tengah ditangani Mahkamah Partai (MP).
Analis politik, Irwan Suhanto menilai sengketa kepengurusan Ketua DPD Golkar Kota Bekasi Ade Puspitasari jika dibiarkan berlarut-larut akan berdampak pada elektabilitas partai serta memperburuk citra Golkar di mata publik.
Baca juga: Golkar Kaji Serius Perpanjangan Jabatan Presiden Jokowi
Sebab, belum hilang dari ingatan publik bahwa ketua DPD Golkar Bekasi merupakan anak mantan pejabat yanhg tersangkut hukum berinisial RE.
Sehingga muncul asumsi publik bahwa anak mantan politisi Golkar Kota Bekasi itu tidak mendukung semangat pemberantasan korupsi.
Menurut Irwan, seharusnya DPP Partai Golkar belajar dari pengalaman adanya dinasti politik di salah satu daerah. Di mana kader partai berlambang pohon beringin itu menceburkan kadernya dalam praktik korupsi secara kolektif.
“Terkait keberadaan DPD Golkar Kota Bekasi, DPP Golkar seharusnya mengutamakan kompetensi ketimbang pertalian darah. Jangan karena membawa nama besar orang taunya memaksakan kader yang tidak berkompeten untuk menjadi ketua,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (5/1/2023).
Baca juga: Guardian Dukung Pemenuhan Kesehatan Anak Indonesia Melalui Program Guardiancares
Padahal, kata dia, banyak kader Golkar Kota Bekasi yang lebih berkompeten dibanding yang sekarang. Dengan proses pemilihan Ketua DPD yang terkesan dipaksakan, sehingga memicu konflik di internal partai tersebut.
“Saya memprediksi suara Golkar di Kota Bekasi pada Pemilu 2024 bakal tergerus. Sebab partai ini sudah tidak dilirik oleh konstituen terutama generasi milenial yang melek teknologi, Dimana pemberitaan soal kasus korupsi Kota Bekasi sempat menjadi trending,” kata aktivis 98 ini.
Partai Golkar Kota Bekasi masih memiliki waktu untuk melakukan konsolidasi jelang Pemilu 2024. Kendati demikian, jika anak mantan kepala daerah Kota Bekasi itu ngin maju menjadi kepala daerah maupun Caleg, maka harus bertarung karena kualitas dirinya bukan karena faktor ketokohan orang tuanya.
“Sebab kami menilai banyak kader Golkar Kota Bekasi yang kualitasnya jauh di atasnya dan terbebas dari kepentingan politik dari terpidana kasus orangtuanya yang saat ini proses hukumnya masih berlanjut di tingkat kasasi lantaran KPK mengajukan banding,” ungkapnya.
Oleh karenanya, Irwan mengingatkan agar DPP Golkar dapat mengambil langkah yang strategis dan objektif. Dimana tahapan pemilu 2024 ini sudah dimulai.
“MP merupakan garda terdepan dalam menyelesaikan sengketa kepengurusan. Jika DPP salah mengambil keputusan, bukan tidak mungkin perolehan kursi Golkar di DPRD Kota Bekasi bakal rontok,” pungkasnya.
Sementara itu, pendapat lainnya juga dikemukakan Pakar Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing. Dia menilai kasus OTT KPK terhadap sejumlah kepala daerah yang berasal dari kader partai politik diprediksi akan menggerus suara partai pengusung kepala daerah yang terjaring OTT tersebut.
Menurut dia, suara partai politik pengusung kepala daerah yang terjaring OTT KPK, kecenderungannya mengalami penurunan.
Sebab ketika ada pejabat publik, baik itu eksekutif maupun legislatif dari salah satu kader partai yang terlibat kasus korupsi, dan telah diproses serta memiliki kekuatan hukum tetap itu akan mempengaruhi elektabilitas partai di daerah yang bersangkutan.
“Misal ketika ada ayahnya yang melakukan tindak pidana korupsi dan anaknya sebagai pejabat publik, seperti ketua salah satu partai, maka bagi masyarakat yang mengetahui adanya kasus korupsi yang melibatkan kader partai itu, tentunya saat Pemilu mendatang masyarakat tidak akan memilih partai yang kadernya terlibat korupsi tersebut,” ujar Emrus kepada wartawan di Jakarta, Kamis (5/1/2023).
Emrus juga menyayangkan jika ada pihak yang tidak sepakat dengan penegakkan hukum oleh KPK. Di antaranya menuding bahwa OTT oleh lembaga antirasuah itu dinilai sarat dengan kepentingan politik.
Tuduhan itu, kata dia, tentu harus dibuktikan secara hukum. Apakah ada yang dilanggar dalam proses OTT tersebut.
“Sebab teori komunikasi mengatakan bahwa orang berpendapat sesuai dengan kepentingannya. Nah yang berpendapat itu siapa, bisa saja pihak yang terkait dengan OTT itu,” beber dosen pascasarjana Ilmu Komunikasi itu. (put)