Jakarta– PT Etana Biotechnologies Indonesia (Etana) bersama Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) menyelenggarakan edukasi Kesehatan ginjal dengan narasumber Dr. dr. Maruhum Bonar H. Marbun, Sp.PD-KGH., FINASIM dan dr. Mirna Nurasri Praptini, SpPD-KGH., M.Epid., FINASIM.
Topik yang diangkat dalam edukasi kali ini adalah apa saja yang harus diperhatikan ketika transplantasi ginjal dan bagaimana pencegahan serta pengobatan anemia pada pasien ginjal kronik, yang dihadiri oleh 150 pasien gagal ginjal yang berasal dari Jakarta dan sekitarnya.
Randy Stevian, Head of Sales & Marketing PT Etana Biotechnologies Indonesia mengatakan, Etana secara konsisten untuk memberikan edukasi kepada Masyarakat khususnya Pasien Ginjal Kronik (PGK), sebagai bentuk upaya dalam meningkatkan kualitas hidup pasien. “Bersama KPCDI kami percaya upaya edukasi ini dapat terus dilakukan mengingat komunitas ini bersinggungan langsung dengan PGK yang semakin terus meningkat setiap tahunnya,” ujarnya.
Baca juga: Chandra Asri Berkomitmen Jadi Mitra Pertumbuhan Berprinsip ESG
Dr. dr. Maruhum Bonar H. Marbun, Sp.PD-KGH., FINASIM mengatakan, saat ini semakin banyak PGK yang ingin melakukan transplantasi ginjal karena memiliki kelebihan yang memberikan keuntungan seperti kesehatan dan kebugaran tubuh meningkat, batasan makan dan minum lebih longgar, dapat beraktivitas seperti sediakal sebelum mengalami penyakit ginjal dan dapat hidup lama dibandingkan jika tetap menjalani dialysis.
“Akan tetapi banyak juga pasien yang setelah melakukan transplantasi menjadi abai dengan kondisinya karena merasa sehat dan bugar sehingga tidak mengatur pola hidup dengan baik, tidak melakukan pemeriksaan secara rutin dimana hal ini sangat disayangkan. Hampir 60 persen seperti itu,” tukasnya.
Maruhum menyebut bahwa pasien yang abai biasanya dikarenakan merasa kondisi kesehatannya telah membaik dari biasanya pasca transplantasi, sehingga tidak melakukan pengobatan secara teratur.
Padahal, lanjutnya, pengobatan pasien yang melakukan transplantasi ginjal adalah mutlak sepanjang hidup. Perawatan pasca transplantasi ginjal perlu dilakukan secara optimal, mengingat prosedur ini termasuk operasi yang cukup berat.
Baca juga: Rayakan HUT ke-30, Imperial Group Hadirkan Promo Spesial Rp30
Selain itu, meski pasien transplantasi ginjal tidak perlu lagi menjalani hemodialisis atau cuci darah seumur hidup, pengobatan rutin diperlukan mengingat ada berbagai risiko fatal yang wajib diperhatikan.
Risiko tersebut seperti infeksi pada perut, penurunan imun akibat obat imunosupresan, kemungkinan menurunnya fungsi ginjal akibat gaya hidup yang tidak sehat, dan yang terparah adalah kemungkinan penolakan ginjal. “Artinya kan itu kan benda asing, ginjal yang dipasang itu bukan ginjal dia, masuk ke dalam tubuhnya. Nah tubuhnya itu kan beradaptasi, kalau tubuh menganggap dia benda asing dan kalau tidak ditekan dengan obat immunosupresen, akan terjadi penolakan,” tukasnya.
Terdapat dua kategori penolakan ginjal, yakni penolakan akut dan kronik. Maruhum mengatakan, penolakan ginjal akut masih dapat ditangani dengan obat-obatan, namun penolakan ginjal kronik dapat menyebabkan hingga kematian. “Kalau kronik biasanya agak sulit diatasi, bukan hanya kembali lagi ke cuci darah, tapi meninggal dunia,” terangnya .
Adapun transplantasi ginjal merupakan prosedur penanganan gagal ginjal kronis, dokter akan mengangkat ginjal yang sudah rusak dan menggantinya dengan ginjal sehat dari pendonor.
Donor ginjal didapatkan dari pendonor yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia. Umumnya donor hidup berasal dari anggota keluarga, hal tersebut lebih disarankan karena risiko penolakannya lebih kecil.
Namun, perlu diingat bahwa transplantasi ginjal bukanlah suatu pengobatan dimana pasca operasi pasien langsung sembuh dan terbebas. Artinya, kehidupan setelah transplantasi ginjal memerlukan perawatan atau konsumsi obat-obatan yang penting untuk keberlangsungan ginjal cangkok. “Pasien baru dapat dikatakan kondisinya stabil umumnya tiga bulan hingga satu tahun pasca transplantasi,” tandasnya.
Masalah lain yang muncul oada pasien gagal ginjal yakni anemia. dr. Mirna Nurasri Praptini, SpPD-KGH., M.Epid., FINASIM mengatakan anemia pada PGK harus diterapi dengan baik, salah satunya melalui pemberian terapi utama yaitu terapi Ertythropoiesis Stimulating Agent (ESA) dimana pada pasien gagal ginjal terapi ESA dimulai ketika Hb <10 g/dl. “Sangat mudah untuk mengindentifikasi gejala anemia pada PGK seperti nafsu makan menurun, jantung berdebar-debar, sesak napas, sakit kepala serta kulit dan membran mukosa pucat,” tututnya.
Prevalensi Penyakit Ginjal Kronik (PGK) di seluruh dunia setiap tahunnya terus meningkat, dimana banyak pasien sudah dinyatakan bahwa ginjalnya berada pada tingkat eternalisis atau sudah harus cuci darah pada kronik tahap 5 yang artinya mereka tidak punya pilihan lain.
Hanya ada tiga pilihan, yaitu Transplantasi Ginjal, Hemodialisis/HD (Cuci Darah) dan CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis). Di Indonesia dari ketiga terapi ini yang paling banyak dilakukan dan dipilih para pasien Gagal Ginjal Kronis adalah Hemodialisis. Selain itu juga, tidak banyak pasien Gagal Ginjal Kronik berkeinginan untuk melakukan pilihan pertama yaitu melakukan transplantasi ginjal. Berbagai alasan membuat para pasien ini bahkan enggan untuk memikirkannya, seperti biaya dan proses mencari donor yang bisa dibilang tidak mudah. (any)
#etana
#kpcdi
#ginjal
#gagalginjal
#transplantasiginjal