Jakarta-Penyelenggaraan Pemilu 2024 telah usai. Namun, hingga saat ini masih saja ada yang merasa tidak puas dengan hasil pesta demokrasi itu. Bahkan di media sosial beredar video pendukung salah satu calon yang berorasi dengan berapi-api, hingga caleg yang depresi karena tidak terpilih. Nah, ternyata, setelah Pemilu diketahui prevalensi Kecemasan (anxiety) sedang-berat sebesar 16 persen dan Depresi (depression) sebesar 17.1 persen.
Hal ini diperoleh dari studi observasional terkait Kesehatan Jiwa dan Pemilu yang dilakukan oleh Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa. Menurut Ketua Tim Peneliti dan Inisiator Kaukus, Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH, temuan prevalensi kecemasan dan depresi ini lebih tinggi dibanding data hasil Riskesdas 2018 dan Direktorat Keswa Kemenkes 2022.
Baca juga: Sumbangsih Air ev dalam Eksistensi Wuling di Pasar Elektrifikasi Tanah Air
Menurut Ray, data sebelum pemilu menunjukkan angka Depresi sedang-berat 6 persen dan gangguan emosi termasuk ansietas sedang dan berat 9.8 persen.
“Jadi terlihat memang meningkat bila dibandingkan temuan kami yang dilakukan tepat sesaat setelah hari pencoblosan, yaitu antara 14 hingga 16 Februari 2024. Dan terlihat bahwa risikonya pun semua terkait dengan persepsi kesehatan jiwa yang berhubungan dengan proses partisipasi Pemilu,” ungkap Ray yang merupakan Ketua Health Collaborative Center (HCCC) di Jakarta, Rabu (28/2/2024).
Baca juga: Asupan Mikronutrien, Rahasia Dukung Perkembangan Kecerdasan Anak
Dalam pemaparan hasil studi itu, tim peneliti dan inisiator Kaukus yang terdiri dari Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, Prof. Dr. dr. Nila F Moeloek, Prof. Dr. Tjhin Wiguna, dan Kristin Samah ini menjelaskan secara metodologis survei ini memiliki tingkat keppercayaan sebesar 95 persen dan margin off error 2 persen, sehingga bisa dikatakan kredibel dan mewakili kondisi di masyarakat Indonesia.
Dengan respondedn sebesar 1077, studi ini juga menemukan bahwa risiko yang muncul terkait proses dan partisipasi Pemilu 2024 meningkatkan potensi kecemasan (ansietas) sebesar 2 kali dan risiko depresi pun meningkat hingga 3 kali hpat.
Menurut Prof. Nila F Moeloek yang merupakan inisiator kaukus, temuan ini menunjukkan bahwa perlu ada intervensi dan mitigasi khusus di masyarakat. “Orientasinya adalah mencegah supaya kecemasan dan depresi tidak memberat. Karena kita ketahui ansietas dan depresi ini adalah pintu masuk untuk gangguan jiwa serius bahkan bisa fatal, jadi dicegah,” ungkap Menteri Kesehatan RI 2014-2019 ini.
Lebih lanjut tim peneliti Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa merekomendasikan agar pemerintah dan segenap komponen masyarakat perlu menjadikan suasana komunitas untuk tidak berlarut-larut membahas aspek konflik dan perbedaan politik pasca Pemilu. Sebaliknya perlu ada sudut pandang positif agar situasi pasca pemilu menjadi nyaman. Kaukus juga merekomendasikan penting adanya penguatan akses pelayanan kesehatan jiwa di tingkat komunitas dan layanan primer, termasuk membuka potensi konseling di puskesmas.
Survei hubungan kesehatan jiwa dengan Pemilu 2024 ini menggunakan metode observasional kuantitatif dengan design cross sectional melalui kuesioner online. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner GAD-7 dan PHO-9 untuk mengukur status kesehatan jiwa. Kuesioner dilengkapi dengan modifikasi peneliti untuk mengukur persepsi tentang Pemilu dan status demografi.
Selain menemukan tingkat depresi dan ansietas, studi ini juga menemukan bahwa pemilu 2024 berhubungan erat dengan munculnya konflik diri, konflik external dan tekanan pihak lain dalam membuat pilihan. Aspek konflik dengan pihak lain terbutki berpotensi menimbulkan depresi sedang-berat pada 31,3 persen responden dengan tingkat risiko 2,5 kali lipat. Sementara itu 4 dari 10 responden mengaku mendapat tekanan ketika harus memilih calon tertentu akibatnya berisiko depresi sedang-berat hingga 3,3 kali lebih besar.
Studi juga menemukan, sebanyak 40 perseb responden mengalami depresi sedang-berat akibat tekanan dalam memilih calon tertentu dengan tingkat risiko hingga 3,3 kali lipat. Sehingga temuan ini penting ditindaklanjuti dengan menggali akar dan sumber konflik yang lahir dari proses pemilu 2024. (any)