Jakarta – Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan penyakit yang sering ditemukan pada orang berusia di atas 40 tahun yang ditandai dengan keadaan peradangan jangka panjang yang menyebabkan terjadinya obstruksi aliran udara di paru. PPOK saat ini menjadi salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia dengan beban ekonomi dan sosial yang substansial dan semakin meningkat.
Data yang dipaparkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), prevalensi PPOK di Indonesia hingga tahun 2013 mencapai 5,6 persen atau sekitar 8,5 juta pasien. Prevalensi bukan perokok dari data pun mencapai 6,3 persen di Indonesia.
Hal-hal seperti edukasi masyarakat akan risiko PPOK, inovasi dalam deteksi dini PPOK, dan pengoptimalan tatalaksana PPOK menjadi semakin penting untuk mengatasi kasus PPOK. Maka dari itu, GSK bersama dengan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (RI) dan Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PP PDPI) pada hari ini, Senin (29/5/2023) bersama-sama berkomitmen untuk meningkatlkan literasi kesehatan masyarakat dan untuk melengkapi kompetensi tenaga kesehatan menggunakan platform pendidikan kesehatan paru berbasis digital, dalam rangka mendukung program prioritas dari Kementerian Kesehatan RI untuk mengatasi PPOK.
Baca juga: OPPO Indonesia Gelar Pop-Up Store Find N2 Flip di Jakarta
Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI, dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH mengatakan, PPOK sejatinya dapat dicegah dan diobati, namun saat ini masih menjadi masalah utama pada kesehatan masyarakat di dunia maupun di Indonesia, karena sebagian besar pasien tidak menyadari gejalanya, belum terdiagnosis dengan tepat, atau mendapatkan pengobatan yang belum optimal. “Untuk itu diperlukan deteksi PPOK lebih dini bagi masyarakat serta optimalisasi terapi untuk mencegah eksaserbasi dan rawat inap. Upaya ini dapat dilakukan melalui kegiatan skrining dan diagnosis PPOK secara terintegrasi. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI berkomitmen untuk memperluas akses skrining, dan pembaruan edukasi PPOK bagi nakes dan awam”,” ujarnya.
Sementara itu, Prof. Paul Jones, MD, Ph.D., salah satu ahli kesehatan paru dunia dari Universitas London St. George, Inggris menerangkan, PPOK umumnya ditandai dengan kesulitan bernapas, batuk berdahak, dan mengi (bengek). PPOK merupakan penyakit yang sering terjadi pada perokok aktif dan pasif. Faktor yang paling berpengaruh terhadap PPOK adalah karena polusi udara.
Baik polusi di dalam atau di luar ruangan, sangat memengaruhi timbulnya PPOK. Namun, PPOK tidak akan datang dalam jangka waktu cepat. Umumnya PPOK ini akan muncul saat usia lanjut, terlebih jika mengalami paparan polusi lebih banyak saat muda, akan semakin rentan.
Karena menjadi penyakit yang menyerang pernapasan, pengidap PPOK akan mengalami kelelahan yang luar biasa. Ini akan memengaruhi proses aktivitas sehari-hari jika mengidap PPOK. “Karena gangguan pernapasan tersebut, akhirnya pasien PPOK akan mudah lelah dan mengalami keterbatasan aktivitas yang dibandingkan orang normal,” kata Jones.
Pernapasan yang terganggu akan menimbulkan kelelahan dalam beraktivitas. Akhirnya, aktivitas pun terganggu, meskipun mengerjakan pekerjaan yang ringan, bahkan berjalan. Pasien akan merasa sesak karena PPOK tersebut. “Bahkan untuk menjalankan aktivitas ringan seperti mandi, berjalan, mencuci baju pun akan terasa berat bagi para pasien dari PPOK,” tandasnya.
Karena sulit menjalankan aktivitas, pasien pengidap PPOK akan cenderung meminta bantuan kepada orang-orang di sekitar, baik itu di rumah atau di luar ruangan. “Untuk mengerjakan aktivitas di rumah memerlukan bantuan orang lain seperti ART (asisten rumah tangga) untuk membantunya, karena ia tidak mampu mengerjakan aktivitas pada umumnya,” jelasnya.
Karena tidak mampu menjalankan aktivitas seperti sedia kala, hal tersebut akan menimbulkan stres hingga depresi. Tentu ini akan memperburuk keadaan, terlebih jika pasien memiliki penyakit komorbid. “Dan itu akhirnya menimbulkan kecemasan dan depresi pada pengidap PPOK yang akan memperburuk lagi keadaan pasien,” kata pria yang mengembangkan beberapa modalitas penilaian PPOK seperti St. George’s Respiratory Questionnaire (SGRQ), COPD Assessment Test (CAT), Exacerbations of Chronic Pulmonary Disease Tool (EXACT), dan COPD Exacerbation Recognition Tools (CERT) yang mendukung ketepatan penilaian awal dan eksaserbasi pasien PPOK itu.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH menambahkan bahwa saat ini, skrining PPOK sudah menjadi program prioritas Kementerian Kesehatan RI, dimana keterbatasan modalitas spirometri merupakan salah satu kendala skrining dan diagnosis PPOK.
Baca juga: IMCD Indonesia dan YCAB Foundation Promosi Pendidikan STEM di Indonesia
Momen berbagi pengalaman ilmiah dari Prof. Paul Jones, MD, Ph.D terutama berhubungan dengan penerapan aplikasi kuesioner CAT, SGRQ, dan CERT dalam praktik klinis sehari-hari dapat menambah pengetahuan para nakes mengenai skrining dan penilaian pasien PPOK. “Kami mengapresiasi inisiatif pihak GSK dan PDPI dalam mendukung cita-cita pemerintah memperkuat edukasi kesehatan di masyarakat dan nakes, sehingga penguatan ekosistem kesehatan bisa segera terwujud, salah satunya terkait upaya pencegahan dan pengendalian PPOK di Indonesia,” tandasnya.
Perwakilan Kelompok Kerja Asma dan PPOK, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), dr. Triya Damayanti, Sp.P(K), Ph.D mengungkapkan, perburukan PPOK umumnya berkembang secara bertahap dan sering kali tidak terdiagnosis atau tertangani dengan optimal. Untuk mencegah perburukan dan eksaserbasi, serta mencapai hasil pengobatan PPOK sesuai yang diharapkan, diperlukan kesadaran bersama untuk memahami sifat dan perjalanan PPOK, juga untuk mengawali pengobatan PPOK yang tepat lebih dini. “Disamping itu, kepatuhan pengobatan pasien ikut mengambil peran penting”. tandasnya.
“Kerjasama platform edukasi berbasis digital EducAIR antara PDPI dan GSK harapannya dapat terus membarui pemahaman PPOK pada dokter umum dan dokter paru,” tambahnya.
Sementara itu, Guru Besar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI), Prof. dr. Wiwien Heru Wiyono, PhD, Sp.P (K) menekankan pentingnya menjawab tantangan pengobatan PPOK di Indonesia, “Eksaserbasi mempercepat penurunan fungsi paru yang menjadi ciri utama perburukan PPOK, serta mengakibatkan berkurangnya aktivitas fisik, kualitas hidup yang lebih buruk, dan peningkatan risiko kematian pada kasus yang lebih berat. Setiap kali eksaserbasi PPOK terjadi, mungkin meninggalkan kerusakan paru permanen dan ireversibel, sehingga lebih sulit bagi pasien untuk bernapas dan meningkatkan perkembangan gejala yang lebih buruk kedepannya. Ditambah lagi, pasien PPOK umumnya enggan mengunjungi fasilitas kesehatan, sehingga keadaan ini sukar ditangani akibat kondisi pasien yang terlanjur memburuk,” terangnya.
Penandatanganan kerjasama antara PDPI dan GSK untuk platform EducAIR dan kampanye Peduli Paru OK ini disaksikan dan didukung oleh perwakilan Direktorat Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan dan perwakilan dari Digital Transformation Office Kementerian Kesehatan RI. Kerjasama kampanye Peduli Paru OK antara PDPI dan GSK untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang PPOK dapat membantu awam memahami risiko penyakit ini.
President Director & General Manager GSK Indonesia, Manish Munot membagikan pendekatan yang dilakukan GSK dalam mendukung PDPI dan Kementerian Kesehatan RI untuk mengatasi PPOK, “Sebagai salah satu perusahaan biofarmasi global yang memimpin dalam portofolio pernapasan, serta dengan lebih dari 50 tahun pengalaman di portofolio pernapasan, GSK berkomitmen untuk membantu pasien bernapas lebih baik dengan terus berinovasi untuk PPOK. GSK berkomitmen penuh dalam memperkuat kolaborasi dengan PDPI dan Kementerian Kesehatan RI, utamanya dalam meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang PPOK melalui program kampanye Peduli Paru OK, sekaligus secara aktif berkontribusi dalam edukasi berkelanjutan bagi nakes secara digital melalui platform EducAIR,” katanya.
Country Medical Director GSK Indonesia, dr. Calvin Kwan menambahkan, data World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa saat ini PPOK menjadi penyebab kematian ketiga terbanyak di dunia, dengan jumlah kematian lebih dari 3 juta jiwa, yang tentunya menjadi tantangan bersama untuk semakin memperkuat pelayanan kesehatan dalam mengatasi PPOK.
“Platform EducAIR adalah platform e-learning atau continuous medical education (CME) berbasis digital yang telah dimulai sejak September 2021 dan ditujukan bagi dokter umum dan dokter paru, untuk melengkapi pemahaman seputar Asma dan PPOK dengan harapan dapat mendukung tatalaksana Asma dan PPOK yang optimal. Program ini merupakan bentuk kemitraan antara GSK dan PDPI,” imbuhnya.
dr. Calvin Kwan menambahkan, Peduli Paru OK merupakan upaya meningkatkan literasi tentang PPOK, agar awam dapat mencari pertolongan lebih dini apabila mengalami gejala PPOK. Harapannya, kecemasan pasien dan angka perburukan PPOK dapat berkurang. (any)