Jakarta – Presiden Jokowi sudah membuat Satgas untuk menyelidiki sejumlah aset tunggakan BLBI sebesar Rp 110 triliun. Keputusan itu pun memunculkan kritikan jika pemerintah mengalihkan kasus BLBI dari pidana korupsi jadi perdata.
Hanya saja, Menko Polhukam, Mahfud MD, menolak anggapa itu. Karena keputusan kasus BLBI bukan ranah pidana korupsi sebagai imbas keputusan Mahkamah Agung (MA) di kasus eks Ketua BPPN, Syafruddin Temanggung.
“Kasus BLBI itu kan kontreversial. Saat pemerintah mengeluarkan Keppres 6/2021 untuk meminta hutang-hutang BLBI ada yang memiliki berpendapat pemerintah alihkan hukum pidana ke perdata, tudingannya demikian. Karena itu saya ucapkan orang yang tidak sepakat ini ditagih memiliki arti sepakat uang negara digarong oleh obligor atau debitur yang sengaja tidak ingin membayar hutangnya,” kata Mahfud dalam Legal Komunitas yang diadakan PPATK di Jakarta, Kamis 29 April 2021.
Baca juga: ICW Sebut Satgas BLBI Tak Efektif
Mahfud mengatakan, keputusan MA yang menyebutkan kasus BLBI bukan ranah pidana korupsi membuat pemerintah berasumsi tunggakan berkaitan ranah perdata masih bisa ditagih. Karena pada 2004, beberapa obligor atau debitur BLBI yang masih belum lunas hutangnya, telah memberi daftar asset yang ditanggungkan ke negara.
Sehingga, kalau pemerintahan hanya berdiam diri usai kasus BLBI bukan ranah pidana korupsi, Mahfud mengatakan sebagai perlakuan bodoh. Karena itu, sekarang pemerintahan bergerak meminta tunggakan itu.
Baca juga: Presiden Jokowi Sampaikan Duka Insiden Tenggelamnya Nanggala-402
“Pemerintahan berasumsi perdata masihlah ada berdasar pernyataan utangnya. Oleh karenanya mulai saat ini ditagih. Jika tidak tagih ingin apa, keputusan MA telah ada (bukan korupsi), lalu kita biarkan mustahil, berarti bodoh kita biarkan harta negara Rp 110 triliun. Itu harus ditagih, itu penyebabnya pemerintahan membuat tim,” katanya.
Mahfud meminta tidak perlu kembali diperdekatkan jika pemerintah mengalihkan kasus BLBI dari pidana korupsi ke perdata. Dia menyebutkan semenjak awalnya kasus BLBI sebagai perdata dan diperjelas lewat keputusan MA di kasus Syafruddin Temanggung.
“Tidak boleh dipermasalahkan kembali pemerintahan mengalihkan kasus pidana ke perdata, tidak ada. Yang mengatakan tidak ada pidananya itu MA. Asal kasus ini perdata ya balik ke aslinya. Dan hingga saat ini KPK belum mengatakan ada kasus lain,” tutupnya. (cuy)