Palangkaraya—Bak dua mata pisau, mulai meratanya jaringan internet tidak hanya memberikan dampak positif tapi juga negatif. Gencarnya penggunaan media sosial kini memicu timbulnya paham radikalisme, dimana pelakunya sebagian besar berasal dari kalangan anak muda.
Oleh karena itu, pentingnya edukasi sejak dini oleh pihak keluarga perlu ditanamkan agar anak-anak terhindar dari paham tersebut. Demikian yang mengemuka dalam webinar yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika RI bersama Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi dengan tema “Tangkal Radikalisme di Media Sosial”, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, belum lama ini.
Baca juga: Ini Dia Tips Tampil Lebih Fresh dengan Tren Makeup ala Korea
Hadir sebagai narasumber adalah Dosen UIN Antasari Banjarmasin sekaligus Ketua Titik Fokus Karya Muhammad Ridha; Instruktur Edukasi 4ID Tanzela Azizi; dan Anandito Birowo selaku Manager Program DCG Indonesia dan Pengawas Perkumpulan Auditor Internal RS Indonesia.
Dalam webinar tersebut, Muhammad Ridha menjelaskan bahwa orang radikal akan menganggap dirinya benar dan orang lain salah. Ia turut menerangkan faktor-faktor penyebab terjadinya radikalisme, salah satunya yaitu krisis identitas yang menimpa generasi muda. Untuk itu Ridha tidak lupa memberikan langkah-langkah dalam melawan radikalisme di ruang virtual, yakni dengan aktif mempromosikan kearifan lokal dan nilai Pancasila serta memproduksi dan menyebarkan konten/narasi moderat yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
“Salah satu faktor mengapa radikalisme melebar luas di media sosial Indonesia yaitu karena konten-konten naratif yang sifatnya moderat itu sifatnya kurang dan kalah bersaing,” katanya.
Baca juga: Dari Literasi Digital Kalimantan 2022, Yuk, Saring Informasi Sebelum Dibagikan!
Terkait etika digital, Tanzela Azizi menerangkan bahaya radikalisme, dimana paham ini dapat memengaruhi kondisi sosial politik suatu negara dan radikalisme kini sangat erat kaitannya dengan konsep ekstremisme dan terorisme. Tanzela menambahkan, perilaku terorisme sebanyak 47,3 persen dilakukan oleh anak muda, pelajar, dan mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa usia remaja yang masih mencari akan jati diri membutuhkan pengakuan dan perhatian.
“Pencegahan radikalisme dapat dilakukan dari pemahaman keluarga seperti memberikan pendidikan agama terbaik agar anak-anak kita tahu harus seperti apa hal yang baik dan yang tidak baik,” tuturnya.
Pada sesi terakhir, Anandito Birowo menyampaikan adanya perbedaan kultural menyebabkan munculnya standar baru etika sehingga memicu urgensi pemahaman etika digital saat beraktivitas digital. Menurutnya, jejak digital dapat membawa sial karena jejak digital bisa sebagai “bom ranjau” yang tertanam di dalam jejak penggunaanya dan kemungkinan berisiko “meledak” suatu saat jika ada pihak-pihak tertentu yang mengincar pemiliknya sebagai target.
Anandito menggarisbawahi, radikalisme ada dua yakni radikalisme positif dan negatif. “Nah seringkali kita mengasosiasikan radikalisme menjadi suatu hal yang negatif. Radikalisme negatif berkaitan erat dengan terorisme. Radikalisme negatif selalu berdampingan dengan yang namanya hate speech atau ujaran kebencian,” tukasnya.
Dengan hadirnya program Gerakan Nasional Literasi Digital oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika RI diharapkan dapat mendorong masyarakat menggunakan internet secara cerdas, positif, kreatif, dan produktif. Kegiatan ini khususnya ditujukan bagi para komunitas di wilayah Kalimantan dan sekitarnya yang tidak hanya bertujuan untuk menciptakan Komunitas Cerdas, tetapi juga membantu mempersiapkan sumber daya manusia yang lebih unggul dalam memanfaatkan internet secara positif, kritis, dan kreatif di era industri 4.0.
Kementerian Komunikasi dan Informatika RI bersama GNLD Siberkreasi juga terus menjalankan program Indonesia Makin Cakap Digital melalui kegiatan-kegiatan literasi digital yang disesuaikan pada kebutuhan masyarakat. Untuk mengikuti kegiatan yang ada, masyarakat dapat mengakses info.literasidigital.id atau media sosial Kemenkominfo dan Siberkreasi. (any)