Jakarta-Mendekati tahun Pemilu 2024, tak luput dari isu-isu krusial yang dimainkan, dalam hal ini seperti pelanggaran HAM dan lainnya. Salah satunya peristiwa yang terjadi di era reformasi tahun 1998. Kerusuhan, penjarahan hingga tragedi Semanggi menjadi catatan sejarah jalannya demokrasi di tanah air. Sebab itu, Yayasan Gerak Nusantara (YGNl menawarkan pemecahan masalah tersebut melalui cara restorative justice kepada keluarga korban reformasi 1998 dan pelaku pelanggar HAM.
‘’Disini kami mewakili beberapa kelompok tentunya kami tidak mengklaim semuanya akan kita advokasi. Tetapi secara sistem perundang-undangan, kita berhak melindungi diri kami sendiri dan apabila kebetulan korban-korban yang lain seperti di Trisakti, Mal Klender itu diluar dari komunikasi kami,’’ jelas Revitriyoso Husodo, Ketua Umum Yayasan Gerak Nusantara dalam pernyataan sikapnya di kantor Komnas HAM, Jakarta, dikutip Sabtu (29/7/2023).
Dia sendiri mengungkapkan, dirinya merupakan salah satu korban dari korban Semanggi 1 dan beberapa korban lainnya seperti Aan Rusdianto yang juga korban penculikan dan penyiksaan pada tahun 1998. ‘’Saya mewakili dari Partai Rakyat Demokratik yang menjadi korban juga dan disini juga ada mahasiswa saat itu, saya rasa kami dalam frame itu saja. Selama 27 tahun berjalan ia mengungkapkan belum menerima atau kompensasi apapun dari negara,’’ lanjutnya.
Baca juga: Sambut HUT RI A&W Indonesia Menu Baru dengan Saus Merah Putih
25 tahun berlalu, kasus ini masih menguak, terutama mendekati pemilu. Menurutnya, sebagai bangsa yang besar harus bertambah dewasa dalam bernegara namun juga harus tegas dalam menjunjung tingi kemanusiaan dalam hal ini harus bersikap memaafkan namun tidak melupakan (forgiving but not forgetting).
Dia menerangkan, kasus tragedi tindak kekerasan negara yang dilakukan oleh alat negara pada saat tragedi 1998 banyak korban yang berjatuhan dan bahkan sampai dengan saat ini belum juga usai. Sejak reformasi tregedi 1998 Indonesia sudah mengalami lima pergantian Presiden, B.J Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan sekarang Joko Widodo. Sampai saat ini nasib Widji Thukul, Herman Hendrawan, Bimo Petrus dan lainnya belum jelas di mana berada atau kuburnya hingga Yu Pon, istri Widji hukul sudah almarhumah. Luka bangsa ini belum terobati.
“25 tahun sudah reformasi di Indonesia berjalan akan tetapi proses penyelesaian tragedi 1998 sampai dengan saat ini sedikit mendapat titik terang dengan pernyataan Bapak Joko Widodo selaku Presiden Republik Indonesia pada 1 Januri 2023 bahwa negara mengakui dan menyesalkan 12 pelanggaran HAM yang berat memang terjadi 3 termasuk rangkaian peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat,” katanya.
Baca juga: Joyday Dukung Sepak Bola Indonesia di Kompetisi Internasional
Tiga peristiwa tersebut yakni Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998”; “Peristiwa Kerusuhan Mei 1998”; dan Peristiwa Trisakti dan Semanggi I – II 1998-1999” dengan penyelesaian non-yudisial namun “tanpa menegasikan mekanisme yudisial”. Dengan langkah kongkrit dengan menginstruksikan kepada Menteri Koordinator Poitik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD untuk mengawal proses penyelesaiannya.
Karena sampai saat ini masih menyisakan persoalan yang mendasar tentang bagaimana proses penyelesaian dan penanganan HAM masa lalu. ‘’Kami yang tergabung dalam Yayasan Gerak Nusantara Sejahtera dalam mensikapi tragedi 1998 hanya menginginkan adanya pengakuan negara terhadap penghilangan nyawa secara paksa dan pemulihan hak – hak para korban. Pelanggaran HAM akan menimbulkan kerugian yang harus diderita oleh korban maupun oleh keluarga korban, oleh karena itu korban korban merupakan pihak yang harus mendapatkan pemulihan kerugian dari terjadinya pelanggaran HAM,’’ tandasnya.
Sebagai contoh Islah perdamaian yang terjadi diserambi Mekah yang terjadi pada saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla sampai dengan saat ini berjalan dengan damai bahkan banyak perubahan yang siknifikan di tanah Rencong tersebut.
Pengakuan negara terhadap terjadinya penggaran HAM dan ganti kerugian bagi korban pelanggaran HAM merupakan sesuatu yang selama ini diidam–idamkan, negara seharusnya bertanggung jawab dan memberikan JAMINAN HAK ASASI termasuk hak korban.
Sistem Hukum Pidana Indonesia mengalami babak baru, restorative justice adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama – sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan,l.
Alternatif penyelesaian perkara dengan mekanisme yang berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan semua pihak terkait, prinsip dasar restorative justice adalah adanya pemulihan pada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku melakukan kerja sosial maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. (any)