Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta profesional dan transparan dalam mengusut dugaan kasus suap yang melibatkan Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin. KPK jangan menjadikan pengusutan kasus Azis sebagai dark number (nomor gelap) atau pengusutan tanpa kejelasan hasil akhir.
”KPK harus transparan dan akuntabel dalam mengungkap bagaimana asal muasal, mata rantai Wali Kota Tanjung Balai, M. Syahrial bisa bertemu dan memberikan uang kepada penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju. Mengapa harus bertemu di Rumah Jabatan Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin. Bagaimana distribusi uang suap dan siapa saja penerima uang haram itu di KPK,” kata Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus di Jakarta, Rabu 9 Juni 2021.
Baca juga: Azis Syamsuddin Penuhi Panggilan KPK Perkara Stepanus
Ia menanggapi rencana pemeriksaan Aziz oleh KPK pada Rabu ini. Dia menyebut, putusan etik Dewan Pengawas (Dewas) KPK bisa dijadikan bukti memperkuat kasus dugaan keterlibatan Robin dan Azis Syamsuddin dalam suap dengan Syahrial.
Pada persidangan etik pada 31 Mei 2021 lalu, Dewas memutus Robin bersalah melanggar etika. Dia dijatuhi sanksi pemberhentian tidak hormat dari penyidik KPK. Pada sidang itu, juga mengemukakan dugaan adanya suap yang dilakukan Azis kepada Robin untuk mengawasi saksi Aliza Gunado dalam perkara korupsi di Lampung Tengah yang ditangani KPK.
Petrus menilai apa yang dilakukan Azis bersama Robin merupakan gabungan beberapa tindak pidana (samenloop atau concursus idealis). Berbagai tindak yang dilakukan seperti dugaan permufakatan jahat yang melanggar UU Tipikor, Pasal 15.
Baca juga: KPK Geledah Rumah Dinas dan Ruang Kerja Azis Syamsuddin
Kemudian ada dugaan pemberian atau penerimaan suap yang melanggar Pasal 5-14 dari UU Tipikor. Tindakan lain adalah adanya pertemuan dengan penyidik KPK saat perkara diproses KPK. Tindakan itu melanggar pasal 65 dan 66 UU KPK. Kemudian perbuatan merintangi penyidikan dan penuntutan yang melanggar Pasal 21 dari UU Tipikor.
Petrus meminta KPK menghentikan modus membuat suatu perkara menjadi dark number. Pasalnya, ada perkara-perkara di KPK mangkrak dengan alasan sulit pembuktian, lalu perkara menjadi “dark number”. Praktek semacam ini sering dilakukan dengan tujuan melindungi pelaku dalam kasus-kasus korupsi tertentu.
”Kasus suap terhadap Robin, tidak boleh dipakai untuk menutup perkara pokok tindak pidana korupsi jual-beli jabatan yang disangkakan kepada Syahrial. Jangan sampai dipakai menutup penyidikan perkara korupsi Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin,” katanya. (ana)