Papua – Kepala Suku kampung Nafri, Distrik Abepura Kota Jayapura, Provinsi Papua Cristomus Awi Wamuar menyatakan telah kecolongan atas tanah hak adatnya. Sedikitnya, kata dia, ada 42 hektar tanah adat miliknya yang bernama Warebu atau lebih dikenal dengan sebutan kali ular itu telah beralih ke 50 sertifikat yang dibuat oleh kantor perta ahan setempat pada tanggal 16 Februari 2009.
Cristomus mengakui itu adalah perbuatan melawan hak adat dan hukum pidana dengan melakukan penyerobotan tanah hak Adatnya. Terungkapnya peristiwa itu ketika dia sedang melakukan pembersihan lahan dengan menggunakan alat berat dilokasi area tanah Adatnya yang berada dekat jembatan merah (jalur penghubung desa yang diresmikan Presiden Joko Widodo) yakni terletak di desa Holtekam Muara Tani, kota Jayapura.
Bahkan Cristomus pun kaget ketika muncul pelaporan kepolisian yang dilaporkan oleh Monika Samallo di Polda Papua atas dirinya dengan tuduhan dugaan pasal 170 KUHP dan pasal 385 KUHP. ”Tuduhan Monika Samallo itu sudah saya klarifikasi dan saya patahkan melalui pernyataan resmi saya didepan penyidik bahwa tidak ada itu tuduhan seperti itu dan saya tidak ada melakukan itu seperti yang telah dituduhkan Monika Samallo kepada saya,” ujar Cristomus.
Baca juga: Ini Lima Fitur Baru di Layanan My Mitsubishi Motors ID
Selidik punya selidik, tanah seluas kurang lebih 42 hektar milik Cristomus Awi Wamuar yang telah menjadi 50 sertifkat hak milik atas orang lain itu membuat dirinya harus mencari tahu siapa dalangnya.
Hasil penelusuran advokat, dan dibantu oleh para kepala suku ternyata pengalihan tanah hak Adat miliknya dilakukan oleh eks anggota Kepolisian Papua berinisil RS pada tahun 2008.
Merasa hak nya dikuasai marga Samallo, Cristomus Awi Wamuar mulai melakukan upaya perlawanan hukum dalam bentuk pembelaan hak atas tanah Adatnya. Sebagai pewaris hak Adat, dia juga menjelaskan soal batasan-batasan tanah miliknya yang kini dalam perkara perdata. ”Tanah adat ini sudah turun temurun diwariskan dari nenek moyang suku wamuar kami. Habi Mareu beserta kedua anaknya yang bernama Nsi’re dan Nii’re kepada saya sebagai garis keturunannya yang Sah,” imbuhnya.
Cristomus yang diketahui sebagai generasi ke 12 dari suku Wamuar juga meyakini bahwa tanah adat nenek moyangnya yang berbatasan langsung dengan tanah adat suku Hanuebi itu belum pernah dikuasai dan diambil alih oleh suku lain. Sehingga jelas terungkap tanah adat miliknya tidak dalam status sengketa Pengadilan, serta tidak dibebani hak tanggungan dan atau bebas dari segala tuntutan hukum.
Hal itu juga diperkuat berdasarkan isi surat pernyataan para kepala suku. Di dalam surat-surat pernyataan para kepala suku itu kembali ditegaskan keturunan Adat di kampung Tobati Enggros yang menyatakan Samuel Faro Haay bukanlah kepala suku Haay dan tidak memiliki tanah di desa Holtekam Distrik Muara Tami Kota Jayapura.
Baca juga: DKI Pertimbangkan Buka CFD, Khawatir Terjadi Kerumunan
Lebih lanjut terkait nama RS ternyata hanya diangkat anak oleh Samuel Faro Haay, bahkan RS tidak pernah ada catatan sejarahnya diangkat menjadi kepala suku di kampung Enggros. ”Semua kepala suku ada di kampung Tobati. Jadi sudah jelas sejarah kampung Tobati dan kampung Enggros tidak pernah mengangkat kepala suku dari luar keturunan kepala suku atau Ondoafi. Adapun nama RS sebenarnya hanya sebagai penggarap tanah adat dengan memakai nama Wa Wambi hingga diam-diam Robby menerbitkan sertifkat hak milik kepada anak-anaknya,” katanya.
Di dalam surat-surat pernyataan para kepala suku juga tertulis dicabutnya kembali seluruh tandatangan mereka kepada Robby Samallo yang berkaitan dengan surat pelepasan tanah adat maupun surat hibah diatas tanah suku Awi Wamuar dan kepada suku-suku yang berada dibawah Keandoafian besar Tobati Enggros yang menjadi dasar diterbitkannya sertifkat maupun yang sedang proses penerbitannya oleh kantor BPN Kota Jayapura.
”Saya bisa menjamin itu, karena tanah Wa Wambi dalam bahasa Tobati Enggros adalah tanah Adat milik suku Awi Wamuar dari kampung Nafri. Saya ada surat pengakuan hak atas tanah adat yang saya miliki, jadi saya yakin 100 persen bahwa penguasaan tanah yang dilakukan oleh orang-orang yang dasarnya dari Robby Samallo tidak jelas dan tidak Sah berdasarkan hak Adat. Kenapa saya katakan itu, karena berdasarkan pelimpahan hak Adat dari Robby Samallo yang sangat jelas tidak diakui dan hanya mengaku-ngaku sebagai pemilik tanah adat suku Haay,” jelas Cristomus.
Dengan dasar itu, Cristomus berharap persoalan yang melibatkan hak Adat, kepolisian harus lebih menghormati hukum Adat dan mengedepankan tujuan dari Presisi Polri dalam menangani konflik ditengah-tengah masyarakat Papua.
Sementara itu, kuasa hukum Cristomus Awi Wamuar, Justitia Pratama Law Firm Advocates & Legal Consultants, Jusuf S. Timisela.S.H.,M.H., mengatakan hak Adat yang menjadi kesatuan dalam hukum Adat harus diselesaikan secara Adat meski Robby Samallo telah membuat sertifkat hak milik diatas tanah adat yang bukan miliknya dan telah diterbitkan oleh BPN Kota Jayapura.
”Kepolisian kita harus mampu membongkar praktik-praktik yang dilakukan oleh para mafia tanah, dimana instruksi Kapolri Jenderal. Pol. Listyo Sigit Prabowo sudah sangat tegas untuk membasmi para mafia tanah,” tandasnya. (any)