Jakarta-Hari Ginjal Sedunia diperingati setiap Kamis minggu kedua bulan Maret. Tahun ini, World Kidney Day diperingati pada Kamis, 14 Maret 2024. Tahun ini, WKD mengusung tema ‘Kidney Health for All: Advancing equitable access to care and optimal medication practice’ yang secara spesifik mengajak seluruh lapisan masyarakat khususnya pemangku kebijakan untuk meningkatkan pemerataan akses pelayanan sehingga seluruh lapisan masyarakat bisa mendapatkan pelayanan kesehatan ginjal yang paripurna serta praktik kesehatan yang optimal.
Pada tahun ini kampanye akan difokuskan pada upaya untuk meningkatkan pemerataan akses pelayanan kesehatan dan praktik pengobatan yang optimal dan komprehensif. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI dr Maxi Rein Rondonuwu menyampaikan, kasus penyakit ginjal mengalami tren kenaikan dan terjadi pula pada anak muda. “Satu dari 10 orang punya penyakit ginjal dan trennya semakin hari semakin naik. Dan saat ini, usia muda sudah kena penyakit ginjal,” ujarnya dalam peringatan Hari Ginjal Sedunia bersama Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) di Jakarta Pusat, Rabu (13/3/2024).
Maxi mengungkapkan, dirinya sempat berkunjung ke rumah sakit di Manado, Sulawesi Utara. Di sana ia bertemu pasien ginjal usia muda yakni di bawah 20 tahun. “Yang saya tahu saya pernah ke rumah sakit di Manado itu belum 20 tahun sudah kena (penyakit ginjal) sudah hemodialisa (cuci darah),” tukasnya.
Baca juga: Alan Comeback dengan Karya Baru dalam EP Jepang Night&Day
Peningkatan kasus penyakit ginjal menurut Maxi dipicu oleh berbagai hal seperti pola hidup dan pola makan tidak sehat. Gaya hidup yang tidak sehat memicu berbagai penyakit seperti obesitas dan diabetes. Pada akhirnya, penyakit-penyakit itu memicu masalah ginjal. “Sekarang yang paling banyak itu hipertensi sama diabetes penyebab penyakit ginjal, dua itu paling tinggi. Sementara hipertensi kita di Indonesia tinggi, apalagi diabet. Seiring dengan dua itu tinggi tentu penyakit ginjal nak juga,” lanjutnya.
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) sendiri tercatat sebagai penyebab 4,6 persen kematian global pada tahun 2017, angka ini diprediksi akan terus meningkat dan PGK diperkirakan akan menjadi penyebab kematian tertinggi ke-5 di seluruh dunia pada tahun 2040. Di Indonesia, prevalensi PGK semakin meningkat setiap tahun, bila tidak diobati suatu ketika dapat mengalami gagal ginjal.
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementrian Kesehatan tahun 2018, prevalensi PGK adalah 0,38 persen. Data registri Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) pada tahun 2020 menunjukkan insidensi kumulatif pasien yang menjalani dialisis (cuci darah) 61.786, dan prevalensi kumulatif 130.931. Penyebab utama gagal ginjal adalah tekanan darah tinggi (hipertensi) dan kencing manis (diabetes).
Baca juga: PIS Salurkan Bantuan Literasi ke Sekolah Luar Biasa
Melihat tingginya kasus penyakit ginjal di Indonesia, Kementerian Kesehatan menggencarkan upaya yang paling murah yakni promotif dan preventif. “Yang pertama tentu yang paling murah upaya yang kita lakukan promotif dan preventif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Upaya promotif dan preventif ini contohnya mengajak masyarakat untuk menerapkan perilaku hidup bersih dan sering cek kesehatan. Itu jadi penting sehingga jangan sakit, kalau sudah sakit sudah pasti kan biaya keluar dan hipertensi atau diabetes yang dialami jadi lebih berat,” jelas Maxi.
Untuk mencegah komplikasi penyakit ginjal, Maxi menyarankan masyarakat terutama yang sudah memiliki hipertensi dan diabetes untuk rajin memeriksakan kondisi diri. “Deteksi dini, kalau sudah hipertensi dan diabetes itu sering-sering cek, tes fungsi ginjal. Yang paling gampang tes urine, ada albumin (protein dalam darah) di urine. Jadi kalau sudah ada protein di urine kemudian hipertensi kemungkinan ada penyakit ginjal. Nah, selanjutnya cek paling gampang adalah cek fungsi ginjal keseluruhan,” urainya.
Tingginya angka gagal ginjal ini tidak hanya menjadi beban bagi pasien dan keluarga tetapi juga beban bagi negara dimana biaya yang dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan sangat tinggi.
Selama tiga dekade terakhir, upaya pengobatan PGK berpusat pada persiapan dan pemberian terapi pengganti ginjal. Namun, terobosan terapeutik akhir-akhir ini menitikberatkan pada pencegahan atau menghambat progresivitas dan mengurangi komplikasi seperti penyakit kardiovaskular dan gagal ginjal, yang pada akhirnya memperpanjang kualitas hidup pasien dengan PGK.
Meskipun terapi-terapi baru ini harus dapat diakses secara universal oleh semua pasien, di setiap negara, terdapat beberapa hambatan seperti kurangnya kesadaran terhadap PGK, kurangnya pengetahuan atau kepercayaan diri terhadap strategi terapi baru, kurangnya jumlah konsultan ginjal hipertensi, dan tingginya biaya pengobatan yang berkontribusi terhadap kesenjangan yang besar dalam akses terhadap pengobatan, khususnya di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, namun juga di beberapa negara berpendapatan tinggi. Ketimpangan ini menekankan perlunya mengalihkan fokus ke arah kesadaran terhadap PGK dan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan.
Untuk mencapai pelayanan kesehatan ginjal yang optimal diperlukan upaya untuk mengatasi hambatan di berbagai tingkatan sambil mempertimbangkan perbedaan kontekstual di seluruh wilayah dunia. Hal ini mencakup kesenjangan dalam diagnosis dini, kurangnya layanan kesehatan yang menyeluruh, cakupan asuransi, rendahnya kesadaran di kalangan petugas kesehatan, dan tantangan terhadap biaya pengobatan dan aksesibilitas. Strategi multi-cabang diperlukan untuk menyelamatkan nyawa, ginjal, dan jantung.
Ketua Umum Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) pada Konferensi Pers hari ini, Dr. dr. Pringgodigdo Nugroho, SpPD-KGH menekankan pentingnya skrining dan deteksi dini penyakit ginjal.
Skrining, deteksi dini dan tatalaksana awal penyakit ginjal kronik tidak hanya akan menurunkan angka gagal ginjal dan kebutuhan terapi pengganti ginjal di Indonesia, namun juga akan mengurangi biaya kesehatan pasien gagal ginjal. “Kemajuan bioteknologi dan perkembangan farmasi saat ini sudah sangat berkembang, sehingga modalitas untuk mengahambat progresifitas penyakit sudah semakin banyak. Modalitas tersebut diharapkan dapat diakses secara merata oleh individu yang membutuhkan,” katanya.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Dr. Eva Susanti, S.Kp., M.Kes. juga menyampaikan bahwa selain tatalaksana progresifitas, harus ditekanklan khusus mengenai pengendalian faktor risiko PGK seperti obesitas, diabetes, dan hipertensi.
Berbagai upaya promotif dan preventif mengenai pengendalian faktor risiko sudah dilakukan di direktoral P2PTM seperti promosi kesehatan, dukungan riset inovatif lintas sektor, skrining dan deteksi dini serta monitoring dan pembuatan regulasi yang berhubungan dengan layanan pengendalian faktor risiko di tempat praktik kesehatan. Upaya-upaya Kemenkes untuk meningkatkan pemerataan juga sudah berjalan. Berbagai alat-alat yang dibutuhkan untuk skrining dan deteksi dini PGK sudah disediakan di kabupaten/kota sehingga dapat menjangkau masyarakat luas.
Deputi direksi bidang KPM BPJS Dr. dr. Ari Dwi Aryani, MKM menyampaikan bahwa beban pelayanan kesehatan pada gagal ginjal semakin meningkat setiap tahunnya. Salah satu penyebab kenaikan biaya kesehatan ini karena keterbukaannya akses layanan kesehatan yang meningkat akibat meningkatnya pemanfaatan JKN oleh masyarakat. Inovasi-inovasi terkait pelayanan kesehatan terkait pasien gagal ginjal perlu dilakukan agar hak masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan terpenuhi namun masih dapat menurunkan biaya kesehatan.
“Permasalahan kesehatan masyarakat tidak hanya menitikberatkan pada jumlah penderita dan pembiayaan pasien, namun juga menekankan pada control faktor risiko seperti prediabetes, diabetes, hipertensi dan diabetes yang sangat mempengaruhi angka penyakit tidak menular seperti Penyakit Ginjal Kronik. Upaya pengendalian faktor risiko ini berupa skrining yang bekerjasama dengan FKTP melalui pemanfaatan aplikasi mobile JKN untuk mengidentifikasi individu yang berisiko tinggi untuk mengelami penyakit tidak menular. Namun, kendala yang dihadapi terkaita skrining penyakit tidak menular ini adalah kurangnya angka cakupan PROLANIS, dimana hanya 50-60 persen pasien berisiko yang rutin berkunjung ke FKTP,” ucapnya.
Meminimalisir penyakit ginjal tidak hanya bisa dilakukan oleh pemerintah saja. Tapi juga dibutuhkan peran swasta untuk melakukannya. Apt. Lisia Margaret sebagai Product Manager PT. Etana Bisotechnologies Indonesia menyampaikan mengenai peran sektor swasta dalam edukasi dan pelayanan kesehatan ginjal. PT. Etana sebagai mitra farmasi mengetahui secara baik kebutuhan informasi pasien-pasien gagal ginjal mengenai penyakitnya.
“Kami sering melakukan edukasi bekerjasama dengan dokter dan komunitas pasien kepada pasien gagal ginjal baik di Rumah Sakit atau di acara perhimpunan. Selain edukasi, upaya kolaborasi dilakukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan ginjal diantaranya adalah kolaborasi uji klinis dengan Rumah Sakit dan universitas untuk menghasilkan produk dalam negeri yang berkualitas tinggi dengan harga yang terjangkau, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dengan gagal ginjal,” imbuhnya. (any)