Jakarta – Pemerintah berencana menerapkan aturan kemasan rokok polos atau tanpa identitas merek. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang disahkan pada 26 Juli 2024. PP ini resmi diundangkan dan langsung berlaku pada tanggal yang sama.
Peraturan tersebut memuat 13 bab dengan total 1.171 pasal yang mengatur berbagai aspek terkait kesehatan, termasuk pengamanan zat adiktif dalam bab khusus. Aturan mengenai kemasan produk tembakau dan rokok elektronik tercantum dalam pasal 429 hingga pasal 463.
Baca juga: Lapo Porsea, Sajikan Rasa Otentik Batak dalam Nuansa Mewah di SCBD
Dampak Ekonomi yang Signifikan
Head of Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho, menyampaikan bahwa kebijakan ini akan berdampak besar pada perekonomian, khususnya pada penerimaan negara.
“INDEF telah melakukan perhitungan, jika kebijakan ini diterapkan, dampak ekonominya mencapai Rp308 triliun,” ujar Andry dalam acara bertajuk Mengejar Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen: Tantangan Industri Tembakau di Bawah Kebijakan Baru yang berlangsung di Jakarta, dikutip Kamis (7/11/2024).
Baca juga: In Dia Rumah Influencer Pertama di Bintaro Bergaya Modern Aesthetic Living
Menurut Andry, dari sisi penerimaan negara saja, potensi kehilangan mencapai Rp 160,6 triliun, atau setara 7 persen dari penerimaan perpajakan nasional.
Penurunan Penerimaan Cukai dan Tantangan Industri
Dalam konteks penerimaan cukai, industri tembakau yang sebelumnya diharapkan dapat menyumbang sebesar Rp218,7 triliun pada 2023 ternyata hanya mencapai Rp213 triliun, kurang Rp5 triliun dari target. Andry menambahkan bahwa jika kebijakan kemasan polos ini langsung diterapkan, maka potensi kehilangan Rp160,6 triliun menjadi ancaman serius bagi penerimaan negara.
“Bayangkan jika kita langsung menerapkan kebijakan ini, Rp160,6 triliun dari penerimaan perpajakan akan hilang begitu saja. Padahal, itu setara dengan 7 persen dari total penerimaan pajak,” kata Andry.
Ancaman bagi Lapangan Kerja di Industri Tembakau
Selain dari aspek keuangan negara, kebijakan ini juga diperkirakan akan berdampak pada sektor ketenagakerjaan di industri hasil tembakau. Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian tahun 2019, sekitar 2,29 juta pekerja berada dalam industri ini, yang setara dengan 32 persen dari seluruh tenaga kerja di sektor tembakau.
“Jika kebijakan ini diterapkan, maka diperkirakan sebanyak 1,6 persen dari total penduduk yang bekerja akan terdampak, atau sekitar 32 persen dari tenaga kerja di industri tembakau,” jelas Andry.
Peraturan baru ini memicu kekhawatiran baik dari sisi penerimaan negara maupun lapangan kerja, mengingat industri tembakau merupakan salah satu penyumbang besar bagi anggaran negara dan juga sektor ketenagakerjaan. (any)