Jakarta-Sudah 17 tahun, Maria Sumarsih berjuang mencari keadilan bagi anaknya, Wawan, yang menjadi korban dalam tragedi Semanggi 1 yang terjadi tahun 1998 lalu. Belum adanya penyelesaian keadilan bagi para korban membuat aksi ini terus bergulir selama 17 tahun. Setiap Kamis, dia datang ke seberang Istana Negara di kawasan Monas menuntut keadilan pada Presiden Joko Widodo.
Dalam orasinya kali ini, Maria Sumarsih menilai Jokowi sebagai pengkhianat reformasi yang awalnya Jokowi mengklaim lahir dari rahim era reformasi. Sumarsih ingat, Presiden Jokowi pernah menyatakan diri sebagai anak kandung reformasi. Hal itu ditunjukkan dengan mengatakan, jabatannya sejak Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga Presiden RI dapat diraih berkat adanya reformasi.
Sumarsih tak sendirian, ribuan massa yang berasal dari “Forum alumni UI serta Aktivis 98 tegak lurus reformasi “ bergabung di Aksi Kamisan depan Istana Negara tersebut menuntut segera dilakukankannya penuntasan 12 kasus Kejahatan HAM Berat serta menentang keras praktek-praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang semakin masif dilakukan oleh penguasa bersama kroninya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam beberapa tahun terakhir ini.
Baca juga: Keren! Empat Desainer Indonesia Bakal Beraksi di NYFW
Terlihat beberapa tokoh aktivis reformasi turut bergabung dan memberikan orasi dalam aksi tersebut Di antara nya Eep Saefuloh Fatah, Usman Hamid, Connie Rakahundini hingga mantan ketua BEM UI yakni manik Marganamahendra.
“Kami menuntut janji komitmen Presiden Jokowi terkait penuntasan 12 kasus pelanggaran HAM berat sebagaimana pernyataan pers Presiden RI tentang pelanggaran HAM berat Pada tanggal 11 Januari 2023 maupun komitmen Presiden terkait Keppres No 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat yang telah memberikan laporan lengkap dan rekomendasi tim kepada Presiden Jokowi,” kata Manik.
Sebagaimana kita ketahui bersama dan berharap Generasi Z juga mempelajari sejarah reformasi ini dimana telah terbukti terjadinya peristiwa penghilangan paksa secara sadis dan brutal terhadap orang-orang dan aktifis reformasi selama kurun waktu 1997-1998 yg merupakan bagian dari tindakan pembungkaman Aktivis yang anti Orde Baru yang sudah berkuasa selama 32 tahun secara otoriter dan penuh KKN dibawah kepemimpinan Suharto pada saat itu.
Baca juga: Banyak Fitur Ciamik, Ini Alasan Mengapa Mitsubishi Xforce Tak Dilengkapi Sunroof
Kasus tersebut diakui masuk dalam pernyataan Presiden Jokowi terkait daftar 12 pelanggaran HAM berat yang diotaki dan didalangi oleh Prabowo Subianto yang saat ini mendapat dukungan penuh Presiden Jokowi untuk maju menjadi salah satu capres yang disandingkan dengan anak kandungnya Jokowi yang bernama Gibran Rakabumining Raka dengan melalui tindakan pelanggaran konstutusi nepotisme.
Kasus penghilangan paksa tersebut, jelasnya, sebagaimana kita ketahui telah disidangkan oleh Dewan Kehormatan Perwira yang berujung pada pemecatan Letjen TNI Prabowo Subianto dari TNI oleh Jenderal Wiranto pada 25 Agustus 1998. Sampai dengan saat ini nasib para Aktivis yang dihilangkan secara paksa tersebut belum jelas nasib mereka dan mereka yang terlibat belum juga di adili dalam pengadilan HAM.
Ironisnya, saat ini anak sulung Presiden Jokowi yang bernama Gibran Rakabuming Raka malah dicalonkan menjadi cawapres mendampingi Prabowo Subianto yang telah dipecat oleh Dewan Kehormatan Perwira terkait keterlibatan eratnya dengan kasus penculikan aktivis 1997-1998 sebagaimana juga diketahui dari pernyataan Jendral (purn) TNI Agum Gumelar Terkait kasus penculikan tersebut.
“Ironinya secara terang-terangan dan vulgar bahkan anak bungsu Presiden Jokowi yang bernama Kaesang Pangarep tiba-tiba dijadikan sebagai Ketua Umum Partai PSI dan bersama menantunya juga turut mendukung capres Prabowo Subianto yang patut diduga kuat terkait dengan peristiwa penghilangan paksa aktivis berdasarkan Hasil Keputusan Dewan Kehormatan Perwira TNI pada Agustus 1998. Atas dasar itulah kami melihat bahwa penuntasan 12 kasus Pelanggaran HAM Berat termasuk penghilangan paksa Aktivis anti Orde Baru terbukti hanya menjadi janji-janji muluk yang tidak akan pernah ditepati oleh Jokowi dan bahkan semakin meninbulkan rasa sedih dan kecewa publik yang sangat mendambahkan rasa adil dan keadilan,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Umum Barisan Rakyat Indonesia Kawal Demokrasi (Barikade) 98 Benny Rhamdani mengatakan, para aktivis ingin menjaga kesakralan istana sebagai simbol kedaulatan rakyat. Dia menuturkan, istana tidak boleh dimasuki oleh orang yang cacat sejarah, cacat kejahatan kemanusiaan, dan cacat moral. “Kami akan jaga, kami akan barikade,” tukasnya.
Adapun orang yang diduga sebagai pelanggar HAM yang dimaksud Benny dan para aktivis adalah Prabowo Subianto. Mereka tak ingin Prabowo memasuki Istana Kepresidenan memimpin bangsa jika memenangkan Pilpres 2024. “Prabowo dinyatakan melakukan tindak pidana dalam keputusan Dewan Kehormatan Perwira, ada 10 poin, di butir C dikatakan Prabowo melakukan tindak pidana penghilangan kemerdekaan dan penculikan kepada aktivis yang dilakukan oleh satgas Tim Merpati dan satgas Tim Mawar,” katanya.
Karena itu, lanjutnya, aktivis menuntut agar dibentuknya peradilan HAM adhoc untuk mengadili Prabowo. Mereka tak ingin mantan menantu Presiden Soeharto, maupun orang yang diduga pelanggar HAM lainnya diberikan impunitas atau pembebasan dari hukuman.
Menurutnya, jika Prabowo ngotot untuk tetap berkuasa melalui jalur pemilu, Reformasi 98 jilid II bisa terulang kembali. “Kita ingin memberi pesan, siapa sangka diktator Soeharto, 32 tahun memerintah itu bisa ditumbangkan rakyat. Padahal, Soeharto didukung kekuatan militer saat itu,” imbuhnya.
Di tempat yang sama, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, banyaknya masyarakat yang mengikuti Aksi Kamisan menjadi tanda bahwa perkembangan politik di Tanah Air telah keluar dari jalur demokrasi.
“Jadi ini mungkin satu tanda dimana berbagai komponen bangsa, komponen masyarakat itu turun ke jalan, dan mulai gelisah dengan perkembangan politik di Tanah Air yang dipandang semakin keluar dari jalur demokrasi, keluar dari jalur reformasi. Bahkan keluar dari etika-etika yang sebenarnya merupakan semangat dasar dari mengapa kita menggerakkan demokrasi di Indonesia untuk menggantikan pemerintahan orotiter Suharto,” terangnya.
Sebelum mendatangi depan Istana Merdeka, para aktivis sempat berziarah ke makam Pahlawan Reformasi atau korban dari Tragedi Trisakti di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Mereka nyekar ke makam Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie. (any)