Jakarta-Teknologi 5G terus berkembang secara global dan telah memasuki tahap ‘Impact Era’, di mana operator mulai menuai hasil dari investasi mereka. Namun, Indonesia masih tertinggal dalam adopsi teknologi ini, dengan penetrasi yang stagnan di angka 2% sejak diluncurkan pada 2021. Sementara negara lain di kawasan Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Thailand, telah melaju pesat dalam penerapan 5G, Indonesia masih berkutat dengan berbagai kendala.
Lalu, apa sebenarnya yang menghambat perkembangan 5G di Indonesia? Apakah ini lebih disebabkan oleh keterbatasan infrastruktur atau regulasi yang belum mendukung?
Kendala Infrastruktur: Spektrum dan Jaringan yang Belum Ideal
Baca juga: Niko Elektronik Indonesia Luncurkan Regulator Gas dengan Fitur Double Seal
Salah satu tantangan terbesar dalam pengembangan 5G di Indonesia adalah keterbatasan spektrum frekuensi. Menurut laporan Kearney 2025 5G Success Index, spektrum yang saat ini tersedia bagi operator di Indonesia belum optimal untuk mendukung 5G secara luas.
Carlos Oliver Mosquera, Partner di Kearney Singapura, menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk melampaui negara lain dalam hal ketersediaan spektrum, tetapi masih ada hambatan dalam proses pelepasan spektrum yang lebih ideal, seperti 700 MHz, 2,6 GHz, dan 3,5 GHz. Jika regulasi mempercepat pelepasan spektrum ini, maka kapasitas dan kualitas jaringan 5G bisa meningkat signifikan.
Baca juga: D’COST Hadir di Lippo Mall Nusantara dengan Konsep Lebih Menarik dan Nyaman!
“Indonesia memiliki kesempatan untuk melampaui pasar lain dalam hal ketersediaan spektrum. Spektrum frekuensi yang kini tersedia untuk operator telekomunikasi belum ideal untuk 5G. Namun, sudah ada diskusi tentang pelepasan 700 MHz, 2,6 GHz, dan 3,5 GHz yang lebih relevan untuk 5G. Jika regulator dapat merilis spektrum ini secara bersih, hal ini akan menjadi perubahan besar. Hal ini memungkinkan karena semua spektrum tersebut merupakan alokasi greenfield. Dengan demikian, operator dapat memperoleh spekturum berkualitas tinggi yang akan meningkatkan kapasitas dan kualitas jaringan,” tukasnya.
Selain itu, jumlah base station dan jaringan fiber optic yang belum memadai juga menjadi penghambat. Jaringan fiber optic berperan penting dalam mendukung kecepatan dan kestabilan jaringan 5G. Namun, di Indonesia, penyebaran infrastruktur ini masih terkonsentrasi di kota-kota besar, sementara daerah pelosok belum mendapatkan akses yang cukup.
Regulasi yang Belum Progresif?
Selain infrastruktur, regulasi juga menjadi faktor penting dalam mempercepat atau memperlambat adopsi 5G. Dibandingkan negara seperti Malaysia yang telah mengadopsi model jaringan grosir tunggal dan berhasil mencapai cakupan populasi lebih dari 80% dalam tiga tahun, Indonesia masih menghadapi tantangan dari sisi kebijakan yang belum sepenuhnya mendukung percepatan ekspansi 5G.
Proses pelepasan spektrum yang lambat dan model bisnis operator yang masih berbasis investasi 4G menjadi kendala dalam adopsi 5G yang lebih luas. Operator masih berhitung mengenai keuntungan bisnis dari investasi besar dalam 5G, terutama karena monetisasi layanan ini belum begitu jelas.
Indonesia Bisa Menyusul, tetapi Butuh Keputusan Cepat
Meski tertinggal, peluang Indonesia untuk mengejar ketertinggalan tetap terbuka. Menurut Varun Arora, Managing Partner Kearney untuk Asia Tenggara, harga perangkat yang semakin terjangkau dan konsumsi data yang masih rendah dibandingkan negara lain bisa menjadi peluang besar untuk akselerasi 5G. Dengan dukungan regulasi yang lebih progresif dan pelepasan spektrum yang cepat, Indonesia bisa memaksimalkan potensi pertumbuhan 5G dalam beberapa tahun ke depan.
Namun, tanpa percepatan dalam infrastruktur dan kebijakan, Indonesia berisiko semakin tertinggal dalam revolusi digital global. (any)